Laman

Senin, 16 Mei 2011

Sepenggal kisah dari seorang kawan :)




14 Februari tahun 2007 lalu adalah pertama dan terakhir kalinya aku ikut serta berada ditengah orang-orang yang berantusias merayakan hari valentine, tepatnya saat itu aku berstatus sebagai siswi kelas X di SMA swasta. Sedikitpun aku gak tahu apa maksud dibalik perayaan itu, judulnya saja ikut-ikutan teman.  Yang pasti, dari kejauhan rumah Meli yang dijadikan tempat merayakan Valentine itu bernuansa merah muda. Mulai dari dekorasi atap-atap rumah yang penuh dengan pita warna merah muda, balon-balon berbentuk hati yang berwarna merah muda juga, sampai kostum beserta aksesories yang dikenakan untuk datang ke pesta itupun wajib berwarna merah muda.


Seluruh teman sekelas diundang dan wajib hadir dalam pesta itu, bahkan setiap orang diperkenankan membawa pasangannya bagi yang telah memiliki pacar. aku sendiri tak memiliki pasangan, makanya kala itu aku sedikit minder dengan ajakan Meli and d’genk. Dengan berbagai persuasi, merekapun berhasil mengajakku datang ke pesta yang mereka sebut hari kasih sayang itu.


Dirumahku sendiri tak pernah ada perayaan seperti itu. Bahkan kata “Valentine day,s” itupun baru kudengar akhir-akhir ini setelah masuk SMA. Gak ada satupun anggota keluargaku yang menyadari hari itu. Ayah, ibu, bahkan Mbak Ima yang usianya 3 tahun diatasku mengaku belum pernah merayakannya. Dan ketika aku membicarakan rencana pesta yang akan diadakan lima hari kemudian itu, tak ada satupun yang merespon positive. Semua melarangku pergi ketempat Meli, tak terkecuali. Jujur, selama ini aku belum pernah menentang larangan mereka, tapi karena berbagai pertimbangan akhirnya akupun berpikir keras mencari cara untuk datang ke pesta itu.


H-1, tiba-tiba saja ayah ditelpon nenek dari Serang untuk mengunjunginya. Tanpa sedikit keraguan, ayah dan ibu meninggalkan rumah 8 jam setelah menerima telpon dari nenek. Akhirnya dirumah tinggal ada aku dan Mbak Ima yang sibuk ngurusin organisasinya dikampus. Aku sih berharap Mbak Ima ada acara yang ngeharusin keluar rumah, atau paling tidak kedatangan temannya dengan begitu perhatian untukku sedikit teralihkan.


Sepertinya otakku benar-benar bekerja maksimal saat kepepet. Ide bermunculan dari sana-sini untuk berbuat apa saja asalkan aku sampe dirumah Meli malam ini jam 8. Akhirnya aku menggunakan salah satu ide yang muncul, sepertinya berkat hobby-ku membaca komik. Sedikitpun aku tak memperlihatkan keinginanku untuk datang ke rumah Meli. Sampe jarum jam menunjukkan angka 6, aku pura-pura ngantuk dan tidur di kamar. Sampai Mbak Ima mengecek kamarku 3x dan mendapatkanku telah terlelap tidur.


Selanjutnya, gak nyampe 30 menit aku mengganti pakaian dan meias diri secantik mungkin. Baju yang kupakai baru kubeli tadi siang, karena aku tak punya baju berwarna pink. Selanjutnya rambutku yang sepanjang pinggang aku ikat seperti ekor kuda dengan tali rambut berwarna pink, lalu diatas poniku memakai bando kelinci berwarna pink pula. Meskipun aku kala itu girang hendak pergi ke pesta, namun hati kecil mengatakannya lain. Aku teringat pesan Ayah dan Ibu yang ngelarangku datang ke pesta itu. Tapi bayangan wajah mereka tak lama buyar dengan bayangan wajah teman-teman yang penuh senyum dan tawa di pesta itu.


Sesuai perjanjian dengan Putri, dia akan menjemputku di depan rumah tepat jam 19.45. Aku udah siap semuanya, giliran otakku berpikir kembali untuk berusaha keluar rumah. Mbak Ima yang kuperhatikan dari tadi telah terlelap di Shofa ruang TV. Aku takutnya dia ngelakuin hal yang sama sepertiku (*pura-pura tidur) tapi setelah aku melangkah mendekati pintu, akhirnya aku yakin dia benar-bbenar tertidur.


Setelah keluar, aku melihar Putri benar-benar seperti Putri dari kerajaan. Tampilannya anggun dengan gaun pink yang penuh pernak-pernik mewah. Ditambah polesan wajah yang jauh lebih mewah dariku. Sementara ini aku hanya bermodal made in dewek, beda sama dia yang hasil polesan salon. Tak banyak basa basi, Putri mempersilahkanku masuk kedalam mobil Honda Jazz-nya yang berwarna Pink pula.Selama dalam perjalanan menuju rumah Meli, aku terus membayangkan suasana pesta itu. Apa mungkin seperti pesta di film-film korea yang biasa aku beli DVDnya? Atau seperti pesta Ulang tahun yang  sebulan lalu aku datangi sewaktu Putri ulang tahun?. Entahlah... tapi setelah aku sampai ditempat tujuan, tampak dari luar seperti tak ada pesta apapun, namun nuansa pinknya memang terlihat nyata.


Akupun melangkahkan kaki menuju rumah Meli. Putri yang datang bersamaku tiba-tiba menggandeng pria yang bernama Agung itu mengaku pacarnya. Memasuki ruangan utama, aku melihat disana-sini muda-mudi bersama kekasihnya. Aku mendekati Meli yang sedari tadi aku perhatikan hanya sendirian.


“Mel, mana kekasihmu?” tanyaku sambil menatap keseluruh pojok ruangan, berharap ada gadis yang tak berpasangan sepertiku. Dan ternyata setelah aku perhatikan tak semua teman sekelas datang. Prita yang duduk sebangku denganku saja tak ada.


“Dia lagi ke toilet. Kamu sendiri Cha?”


“Aku gak ada. Aku kan gak punya cowok.” Jawabku


“Trus gimana ntar dengan acara pokoknya?” Tanya Meli menatapku heran.


“Acara pokok apaan Mel?” Aku balik bertanya padanya.


“Di puncak acara nanti kan kita bakal dansa bareng pasangan kita, lalu tukar kado yang kita bawa.” Jelas Meli dengan sedikit kecewa. “Tapi, biar kamu aku kenalkan saja sama temen cowokku ya Cha, mau nggak?” lanjut meli bertanya padaku. Aku hanya diam saja. Ragu untuk mengatakan iya, tapi enggan juga untuk mengatakan tidak.


Tak lama, Meli memanggil lelaki yang bernama Gilang, lalu mengenalkannya padaku. Sampai akhirnya di acara puncak itu aku berdansa dengannya. Tapi apa yang dilakukan Gilang? Dia mengajakku  meninggalkan ruangan pesta. Katanya dia pingin lebih mengenalku lebih jauh, akhirnya kami ngobrol di ruangan yang bersebelahan dengan ruangan pesta.


Gilang orangnya supel, dia langsung akrab ngobrol denganku meskipun baru kenal beberapa jam saja. Akupun masuk dengan asyik dalam obolan ini. Samapai dia ngajak aku dansa, aku tak menolaknya. Namun tak lama dari situ aku memutuskan untuk pergi dari pesta itu dan pulang. Aku menyadari ada yang tak beres dengan Gilang. Matanya yang terus memperhatikan bibirku saat bicara membuat aku curiga padanya. Dia perlahan mendekatkan tubuhnya padaku, namun ketakutanku muncul dan aku segera saja meninggalkan pesta itu tanpa pamitan.


Esok paginya aku ceritakan hal ini sama Mbak Ima. Mbak Ima memelukku dengan penuh sayang. Mbak Ima tidak memarahiku, malah dia yang menangis dan meminta maaf padaku. Padahal seharusnya aku yang minta maaf padanya, aku kan udah bohongin dia. Tapi dari situ aku makin menyesali perbuatanku. Aku merasa bersalah. Dan Mbak Ima berjanji tak akan melaporkan kejadian ini sama Ayah maupun Ibu.


Aku bolos sekolah, Mbak Ima yang membuatkan surat ke sekolah dengan keterangan sakit. Padahal sedikitpun aku gak sakit. Tapi kata Mbak Ima mentalku yang masih sakit. Dan hari ini aku ditemanin penuh sepanjang hari sama Mbak Ima. Aku dinasihati dengan kisah-kisah teladan, dan akhlak. Aku benar-benar seperti orang yang sakit, mungkin memang benar tapi sakit rohaniahnya. Aku berjanji sama Mbak Ima gak akan ikut-ikutan ngerayain pesta gak penting itu lagi.


Hari berikutnya aku memutuskan sekolah karena gak mau beberapa mata pelajaran tertinggal. Namun hari ini ada yang berbeda dengan penampilanku. Aku memutuskan menggunakan jilbab seperti yang biasa Mbak Ima dan Ibu lakukan. Bismillah, jilbabku masih menempel sampai saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar